1. Pengertian
Mahkum
Bihi (Fihi)
Ulama usulfikih mengertikan mahkum bihi sebagai objek hukum, yaitu
perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syarak. Setiap tuntutan syarak
ada objeknya, objek itu adalah perbuatan orang mukalaf , dan untuk setiap
perbuatan orang mukalaf ditetapkanlah suatu hukum.
2.
Syarat
– syarat Mahkum
Bihi (Fihi)
Berdasarkan kajian para ulama usulfikih,
bahwa taklif (pembebanan hukum) dapat
di katakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a. Perbuatan
yang akan dilakukan oleh mukalaf itu harus diketahui dengan jelas, sehingga
dapat terlaksana sesuai dengan perintah nya.
b. Perbuatan
yang akan dilakukan mukalaf itu harus diyakini bersumber dari Allah
c. Perbuatan
yang dibebankan itu merupakan perbuatan yang mungkin dapat dilakukan atau boleh
ditinggalkan oleh orang mukalaf,maka oleh karena itu, tuntutan menjadi tidak
sah jika:
§ Tuntutan
itu tidak mungkin dilakukan.
§ Tuntutan
itu sebenarnya tuntutan kepada orang lain.
§ Tututan
itu dengan sesuatu yang menjadi fitrah manusia.
d. Perbuatan
yang dibebankan itu dapat dibedakan dari perbuatan – perbuatan yang lainnya,
sehingga dapat ditentukan tujuan atau niatnya.
3.
Macam
– macam Mahkum Bihi (Fihi)
Para
ulama usulfikih membagi mahkum bihi
dari dua segi, yaitu segi keberadaan nya secara material dan syarak, serta dari
segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
a. Segi
keberadaannya secara material dan syarak
§ Secara
material perbuatan itu ada, namun tidak terkait dengan syarak, misal nya makan
dan minum
§ Secara
material perbuatan itu ada dan menjadi sebab ada nya hukum syarak. Misal nya
perzinahan dan pencurian akan menjadi sebab ada nya hukum syarak, yaitu hudud
dan qiyas.
§ Secara
material perbuatan itu ada dan bernilai dalam syarak apabila terpenuhi syarat
dan rukun nya, misal nya salat dan zakat.
§ Secara
material perbuatan itu ada dan mengakibatkan ada nya hukum syarak. Misal nya
nikah, jual beli, dan sewa-menyewa. Perbuatan tersebut akan memunculkan hukum
syarak yang lain. Misal nya, nikah menyebabkan hubungan suami istri menjadi
halal, melahirkan kewajiban memberikan nafkah dan membayar mahar. Dalam jual
beli terlahir hukum berpindah nya hak milik. Sewa-menyewa menjadikan seseorang
berhak memanfaatkan milik orang lain.
b. Segi
hak yang terdapat dalam perbuatan itu
§ Semata-mata
hak Allah SWT, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum, tanpa
terkecuali.
§ Hak
hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti hak-hak
kepemilikan dan pemanfaatan harta nya sendiri
§ Terdapat
hak Allah dan hak hamba, hanya saja hak Allah lebih dominan, misal nya hukuman
tindak pidana qazaf (menuduh orang
lain berzinah).
§ Terdapat
hak Allah dan hak hamba, hanya saja hak hamba yang lebih dominan, misal nya
dalam masalah qiyas.
F. Mahkum ‘Alaihi
1.
Pengertian
Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi
adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah, yaitu mukalaf. Jadi, mukalaf dalam usulfikih disebut pula mahkum ‘alaihi. Mukalaf adalah orang
yang telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, baik berhubungan dengan
perintah Allah, maupun larangan – Nya .
2.
Syarat
– syarat Taklif
Para
ulama usul fiqih sepakat bahwa seseorang baru dapat di kenai taklif jika:
§ Dapat
memahami khitab Allah. Khitab Allah ini dapat dipahami melalui
akal, sehingga orang gila, orang lupa, orang tidur, dan orang yang dipaksa
tidak dikenai taklif (pembebanan), begitu pula anak yang belum balig, karena
dianggap akalnya belum sempurna.
§ Telah
cakap bertindak secara hukum (ahliyah).
Maksud ahliyah adalah sifat yang
menunujukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindaknnya dapat dinilai oleh syarak.
3.
Macam –
macam Ahliyah
Ulama usulfikih mengelompokkan ahliyah ke dalam dua bentuk, yaitu ahliyatul ada’ dan ahliyatul wujub.
a. Ahliyah
ada’
Ahliyah
ada’ yaitu sifat kecakapan bertindak hukum
bagi seseorang yang di anggap telah sempurna untuk mempertanggung jawabkan
seluruh perbuatan nya, baik yang positif, maupun yang negatif. Menurut ulama
usulfikih, yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyahtul ada’ adalah akil, balig, dan
cerdas.
b. Ahliyatul
wujub
Ahliyatul wujub
yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima sesuatu yang menjadi hak nya,
namun belum mampu di bebani seluruh kewajiban. Menurut ulama usulfikih, yang di
jadikan sebagai ukuran dalam menentukan ahliyatul
wujub adalah sifat kemanusiaan yang tidak di batasi oleh umur, kedewasaan,
atau kecerdasan.
Para ulama membagi ahliyatul wujub menjadi dua, yaitu ahliyatul wujub an-naqisah dan
ahliyatul wujub al-kamilah.
1.
Ahliyatul
wujub an-naqisah
Yang
termasuk ahliyatul wujub an-naqisah
adalah janin yang masih dalam kandungan ibunya.
2.
Ahliyatul
wujub al-kamilah
Ahliyatul wujub
al-kamilah adalah kecakapan menerima hak bagi
seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dia dinyatakan balig dan berakal,
meskipun akal nya itu kurang, seperti orang gila.
Dari
penjelasan tentang ahliyah tersebut
dapat di pertegas lagi bahwa kondisi nyata manusia untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah itu ada kalanya:
§ Tidak
ada kemampuan sama sekali untuk bertindak, misal nya anak-anak kecil, orang
tidur, dan orang gila.
§ Ada
kemampuan bertindak, tetapi belum sempurna, yaitu anak yang sudah mumayiz.
§ Ada
kemampuan berbuat secara sempurna, yaitu semua orang yang sudah balig dan
berakal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar