Selasa, 19 Februari 2013

pengertian mahkum bihi


1.      Pengertian Mahkum Bihi (Fihi)
Ulama usulfikih mengertikan mahkum bihi sebagai objek hukum, yaitu perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syarak. Setiap tuntutan syarak ada objeknya, objek itu adalah perbuatan orang mukalaf , dan untuk setiap perbuatan orang mukalaf ditetapkanlah suatu hukum.
2.      Syarat – syarat  Mahkum Bihi (Fihi)
Berdasarkan kajian para ulama usulfikih, bahwa taklif (pembebanan hukum) dapat di katakan sah apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu :
a.       Perbuatan yang akan dilakukan oleh mukalaf itu harus diketahui dengan jelas, sehingga dapat terlaksana sesuai dengan perintah nya.
b.      Perbuatan yang akan dilakukan mukalaf itu harus diyakini bersumber dari Allah
c.       Perbuatan yang dibebankan itu merupakan perbuatan yang mungkin dapat dilakukan atau boleh ditinggalkan oleh orang mukalaf,maka oleh karena itu, tuntutan menjadi tidak sah jika:
§  Tuntutan itu tidak mungkin dilakukan.
§  Tuntutan itu sebenarnya tuntutan kepada orang lain.
§  Tututan itu dengan sesuatu yang menjadi fitrah manusia.
d.      Perbuatan yang dibebankan itu dapat dibedakan dari perbuatan – perbuatan yang lainnya, sehingga dapat ditentukan tujuan atau niatnya.

3.      Macam – macam Mahkum Bihi (Fihi)

Para ulama usulfikih membagi mahkum bihi dari dua segi, yaitu segi keberadaan nya secara material dan syarak, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.

a.      Segi keberadaannya secara material dan syarak
§  Secara material perbuatan itu ada, namun tidak terkait dengan syarak, misal nya makan dan minum
§  Secara material perbuatan itu ada dan menjadi sebab ada nya hukum syarak. Misal nya perzinahan dan pencurian akan menjadi sebab ada nya hukum syarak, yaitu hudud dan qiyas.
§  Secara material perbuatan itu ada dan bernilai dalam syarak apabila terpenuhi syarat dan rukun nya, misal nya salat dan zakat.
§  Secara material perbuatan itu ada dan mengakibatkan ada nya hukum syarak. Misal nya nikah, jual beli, dan sewa-menyewa. Perbuatan tersebut akan memunculkan hukum syarak yang lain. Misal nya, nikah menyebabkan hubungan suami istri menjadi halal, melahirkan kewajiban memberikan nafkah dan membayar mahar. Dalam jual beli terlahir hukum berpindah nya hak milik. Sewa-menyewa menjadikan seseorang berhak memanfaatkan milik orang lain.
b.      Segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu
§  Semata-mata hak Allah SWT, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum, tanpa terkecuali.
§  Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti hak-hak kepemilikan dan pemanfaatan harta nya sendiri
§  Terdapat hak Allah dan hak hamba, hanya saja hak Allah lebih dominan, misal nya hukuman tindak pidana qazaf (menuduh orang lain berzinah).
§  Terdapat hak Allah dan hak hamba, hanya saja hak hamba yang lebih dominan, misal nya dalam masalah qiyas.

F. Mahkum ‘Alaihi

1.      Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yaitu mukalaf. Jadi, mukalaf dalam usulfikih disebut pula mahkum ‘alaihi. Mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu melakukan tindakan hukum, baik berhubungan dengan perintah Allah, maupun larangan – Nya .
2.      Syarat – syarat Taklif
Para ulama usul fiqih sepakat bahwa seseorang baru dapat di kenai taklif jika:

§  Dapat memahami khitab Allah. Khitab Allah ini dapat dipahami melalui akal, sehingga orang gila, orang lupa, orang tidur, dan orang yang dipaksa tidak dikenai taklif (pembebanan), begitu pula anak yang belum balig, karena dianggap akalnya belum sempurna.
§  Telah cakap bertindak secara hukum (ahliyah). Maksud ahliyah adalah sifat yang menunujukan seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindaknnya dapat dinilai oleh syarak.

3.   Macam – macam Ahliyah
Ulama usulfikih mengelompokkan ahliyah ke dalam dua bentuk, yaitu ahliyatul ada’ dan ahliyatul wujub.

a.      Ahliyah ada’
Ahliyah ada’ yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap telah sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatan nya, baik yang positif, maupun yang negatif. Menurut ulama usulfikih, yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki ahliyahtul ada’ adalah akil, balig, dan cerdas.
b.      Ahliyatul wujub
Ahliyatul wujub yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima sesuatu yang menjadi hak nya, namun belum mampu di bebani seluruh kewajiban. Menurut ulama usulfikih, yang di jadikan sebagai ukuran dalam menentukan ahliyatul wujub adalah sifat kemanusiaan yang tidak di batasi oleh umur, kedewasaan, atau kecerdasan.
 Para ulama membagi ahliyatul wujub menjadi dua, yaitu ahliyatul wujub an-naqisah dan ahliyatul wujub al-kamilah.


1.      Ahliyatul wujub an-naqisah
Yang termasuk ahliyatul wujub an-naqisah adalah janin yang masih dalam kandungan ibunya.
2.      Ahliyatul wujub al-kamilah
Ahliyatul wujub al-kamilah adalah kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dia dinyatakan balig dan berakal, meskipun akal nya itu kurang, seperti orang gila.

Dari penjelasan tentang ahliyah tersebut dapat di pertegas lagi bahwa kondisi nyata manusia untuk melaksanakan hukum-hukum Allah itu ada kalanya:
§  Tidak ada kemampuan sama sekali untuk bertindak, misal nya anak-anak kecil, orang tidur, dan orang gila.
§  Ada kemampuan bertindak, tetapi belum sempurna, yaitu anak yang sudah mumayiz.
§  Ada kemampuan berbuat secara sempurna, yaitu semua orang yang sudah balig dan berakal.

Tidak ada komentar: